Sistem pengajaran
Madrasah Nidzamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk di Baghdad dan madrasah-madrasah lainnya dibawah kekuasaan Bani Saljuk sudah mempunyai sistem menejemen yang cukup baik. Hal tersebut di atas dilatarbelakangi adanya campur tangan negara dalam masalah pendidikan pada waktu itu, sehingga masalah pendidikan Islam mulai terencana dengan baik dari mulai tujuan, kurikulum, perekrutan tenaga pendidikan sampai pada pendanaan dan sarana prasarana. Seperti yang diungkapkan Abd al- Madjid al-Futuh Madrasah Nizamiah merupakan lembaga pendidikan resmi pemerintah, pemerintah terlibat dalam menetapkan tujuan-tujuannya, menggariskan kurikulum, memilih guru dan memberi dana yang teratur kepada madrasah. Hal yang menarik dari inovasi pendidikan Nizam Al-Mulk adalah dalam menangani menejemen keuangan madrasah yaitu mengoptimalkan dana wakaf untuk pembiayaan pendidikan hal ini dijadikan solusi untuk menciptakan pendidikan massal yang murah bagi rakyat dengan fasilitas yang cukup memadai, dan dengan adanya dana yang memadai, para syaikh dan mudarris dapat digaji secara profesional atas tugas tugas pengajaran yang dilakukannya.
Lembaga pendidikan Madrasah Nizhamiah merupakan lembaga pendidikan Islam pertama yang menerapkan sistem yang mendekati sistem pendidikan yang dikenal sekarang, seorang tenaga pengajar dibantu oleh dua orang mahasiswa yang bertugas membaca dan menerangkan kembali kuliah yang diberikan kepada mahasiswa yang ketinggalan (asistensi), sistem belajar Madrasah Nizhamiah adalah tenaga pengajar berdiri didepan kelas menyajikan materi-materi kuliah, sementara para pelajar duduk dan mendengarkan diatas meja-meja kecil yang disediakan, kemudian dilanjutkan dengan dialog antara dosen dan para mahasiswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan yang tinggi[1], Setelah Nizham al-mulk membuka madrasah-madrasah Nizhamiah dibanyak kota, ia menetapkan untuk memberi gaji setiap bulan bagi setiap tenaga pengajar, dimadrasah-madrasah tersebut. Namun kebijaksanaan Nizham al Mulk tentang gaji tersebut belum bisa diterima oleh tenaga pengajar di Madrasah Nizhamiah, mereka lebih suka tanpa digaji tapi kesejahteraan hidupnya dijamin, bagi para syaikh gagasan untuk menggaji pada masa itu dianggap sebagai suatu gagasan yang terlalu maju. Madrasah Nizhamiah telah mencatat nama-nama besar dan orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar, diantara mereka adalah Syek Abu Ishak Asyyirazi, seorang faqih Baghdad, Syekh Abu Naser Assabagh, Abu Abdullah Attabari, Abu Muhammad Asy Sysirazi, Abu Qasim al-Alawi, Attibrizi, Al-Qazwini,al Fairuz Alabadi, Imam Alharamain Abdullah Abdul Ma’ali, al Juwaini, dan Imam al- Ghazali, madrasah yang sistem pendidikan dan organisasinya di Eropa ini sampai akhir abad ke 14[2].
Madrasah mempunyai satu perpustakaan yang bergabung dalam bangunan yang sama, sebelumnya, belum ada Masjid, Masjid jami’ atau Khan yang memiliki perpustakaan dalam satu gedung, perpustakan ini digunakan untuk menyediakan literatur yang nantinya digunakan pada Mahasiswa, tersedianya literatur ini meningkatkan pengalaman belajar Mahasiswa dengan memberikan mereka pengalaman belajar melalui literatur tersebut, lebih dari sekedar proses perkuliahan[3]. Status dosen di Madrasah Nizhamiah ditetapkan berdasarkan pengangkatan dari khalifah Dinasti Saljuk dan dan bertugas dalam waktu tertentu. Untuk menunjukkan betapa Madrasah Nizhamiah mencoba mengembangkan diri menjadi suatu lembaga pendidikan yang lebih sesuai dengan tuntutan Zaman,
Apabila dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang sebelumnya sistem pengajaran Madrasah Nizhamiah jauh lebih unggul, Masjid misalnya, dari segi fungsi Masjid pada zaman Rasul mempunyai banyak fungsi antara lain, sebagai tempat Ibadah,tempat konsultasi masalah sosial kemasyarakatan,ekonomi maupun budaya, tempat pendidikan, tempat santunan sosial, tempat pelatihan militer, tempat pengobatan korban perang, tempat perdamaian atau pengadilan sengketa, tempat penerimaan tamu, tempat tahanan dan pusat penerangan dan pembelaan agama[4], sedang Madrasah Nizhamiah adalah gedung yang memang disedikan khusus untuk proses pendidikan, sistem pengajaran yang dilakukan dalam Masjid adalah sistem khalaqah, ilmu yang diajarkan juga berbeda beda mulai dari hadits, fiqhi. Jadwal kegiatan sehari-hari biasanya dimulai dan diakhiri dengan doa, biasa dikaitkan dengan jadwal salat subuh dan Isya, atau bisa juga dalam satu waktu khusus, waktu setelah salat subuh biasanya digunakan untuk membaca al-Quran, di ikuti dengan tafakkur singkat, kemudian Syaikh memulai pelajaran formal biasanya dalam bentuk ceramah dimana ia menyajikan materi baru atau melanjutkan materi yang belum selesai, atau mengulangi kembali materi yang sulit dimengerti, pada paruh waktu selanjutnya mahasiswa diberikan waktu untuk mendebat sesama mahasiswa atau dengan syaiknya, priode pelajaran ini biasanya berakhir pada tengah hari dan ditutup dengan doa secara formal. Pada sore hari para mahasiswa mengulangi mata kuliahnya yang telah diberikan syaiknya pada siang hari, dan membantu mahasiswa yang mendapat kesulitan. Kegiatan ini berlangsung non formal sepanjang sore sampai malam, oleh kerena hafalan merupakan hal yang sangat penting dalam proses belajar ini maka mahasiswa diberikan waktu yang panjang mulai dari sore sampai malam hari[5]. Sistem pengajaran di Masjid masih menggunkan sistem lama, seperti halaqah yang mana Syaikh duduk ditegah dan dikelilingi oleh mahasiswa, sistem penggajian Syaikh pun belum ada, para syaikh mengajar karena ikhlas dan bukan dijadikan sebagai mata pencarian. Perbedaan yang paling mencolok antara Masjid dan Madrasah Nizhamiah adalah dari segi bangunan, Masjid selain digunakan sebagai tempat belajar digunakan juga sebagai tempat ibadah, dan fungsi utama dari Masjid adalah tempat ibadah, dengan dijadikan Masjid sebagai tempat pendidikan akan mengganggu fungsi utama Masjid[6], perbedaan yang lain juga dapat dilihat dari sistem keuangan atau sumber pendanaan Madrasah Nizhamiah sudah memiliki lembaga wakaf yang dikelola dan disiapkan Nizham Mulk sebagai sumber keuangan dan pendanaan Madrasah, sedangkan Masjid belum memiliki lembaga Wakaf yang berfungsi sebagai sumber pendanaan.
Apabila dibandingkan dengan sistem pendidikan Kuttab, Madrasah Nizhamiah masih jauh lebih unggul, Kuttab adalah lembaga pendidikan awal semacam Sekolah dasar pada zaman sekarang, mata pelajaran utama dari kuttab adalah baca tulis al-Quran. Lembaga pendidikan Kuttab sudah mengenal penggajian terhadap guru, dikarenakan guru yang mengajar di Kuttab memang guru yang sengaja digaji untuk mengajar, seperti Kuttab pada masa rasul, guru yang mengajar di Kuttab adalah para tawanan perang Badar, berbeda dengan Madrasah Nizhamiah yang sudah memiliki gedung sendiri, Kuttab masih dilaksanankan dirumah-rumah guru, sistem wakaf pun sudah dikenal di Kuttab, para orang kaya yang anaknya belajar di Kuttab menyiapkan wakaf untuk menggaji para guru,dari segi materi yang diajarkan menurut syalabi, kuttab terbagi atas dua, yaitu Kuttab yang mengajarkan puisi-puisi dasar dan baca tulis, biasanya gurunya berasal dari non muslim atau tawanan perang. Kuttab jenis kedua adalah kuttab yang memang diperuntukkan untuk mengajarkan al-Quran, kuttab jenis ini berkembang pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, dari segi sistem pengajaran Kuttab masih menggunakan cara lama, murid yang datang kerumah guru, kemuadian terjadi proses belajar mengajar.
Dari segi uji materi antara Masjid dan Kuttab, Madrasah Masih lebih maju dari segala hal, baik dari segi pengajaran, sistem wakaf, guru, perhatian pemerintah dan dari segi fungsi bangunan.
Lihat : MADRASAH NIZHAMIAH IV (Tokoh Pemeran)
Lihat : MADRASAH NIZHAMIAH VI (Kurikulum)
Lihat : MADRASAH NIZHAMIAH IV (Tokoh Pemeran)
Lihat : MADRASAH NIZHAMIAH VI (Kurikulum)
CATATAN KAKI
[1] Dewan Penyusun Insiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Edisi Ke- 4; Jakarta: PT Ikrar Mandiri abadi, 2003)
[2] Ibid.
[3] Charles Michael Stanton Higher Learning in Islam: The Classical priod, Terj. H. Afandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi Dalam Islam (Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994), h. 47
[4] Armai Ari (ed), sejarah pendidikan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam Klasik, (Cet. I. Bandung: Angkasa,2004), h. 37.
[5] Michael Stanton, Op. Cit. h. 59.
[6] Ibid., h. 57.
0 komentar:
Post a Comment