Thursday, 25 December 2014

Tentang Sufistik & Kehidupan Sufi

Pada awalnya adalah hanya Yang Satu (The One). Pandangan ini bisa ditelusur dari semenjak pemikir Yunani kuno; Thales, Socrates, Plotinus hingga mistikus semisal Meister Eckhart dan Acharya Sankara. Pandangan tentang Yang Satu tersebut merupakan penyebutan terhadap Tuhan sebagai Yang Ada (being). Tuhan dalam tafsir Sankara adalah “Advaita”, realitas tunggal yang tak terbagi (non-duality), sedang realitas yang berjamak adalah “Maya”, suatu penampakan murni. Atau dalam kata-kata Eckhart: “untuk melihat sesuatu adalah berarti melihatnya dalam kesatuan Tuhan. Sebab, penampakan yang jamak dan mendua sesungguhnya adalah kesatuan abadi.” 

Demikianlah obituari perjalanan penghayatan manusia. Disadari, ronta-ronta jiwa untuk mencari dan memahami Sang Pencipta bersifat fitrah. Sementara itu, jagad manusia menampakkan kemajemukan pada sisi ras, etnis, warna kulit dan keyakinan (agama). Namun, berbilang waktu, kemajemukan tersebut ternyata acapkali menimbulkan pelbagai ketegangan. Maka, korban pun berjatuhan, mengotori kefitrian hidup umat manusia. Di balik itu, terpendam pandangan sufistik yang sudah sekian lama menjadi “kawah candradimuka” bagi insan-insan pelakunya untuk mengolah batin dan memantulkan kebeningan fikir dalam melihat realitas kemajemukan umat manusia. Karenanya, tasawuf beriringan dengan “wilayah antariman” (interfaith). Dalam wilayah agama selalu terdapat aspek eksoteris (dzahiri) dan esoteris (bathini). Aspek esoteris inilah yang bisa menjadi muara persinggungan antarkeyakinan. 

Kesatuan dalam Esensi

Dalam tradisi pemikiran Islam, kesadaran untuk mengarungi ruang esoterisme dapat dibelah dalam dua aspek, yaitu gnosis (ma’rifat atau ‘irfan) dan filsafat atau teosofi (al-hikmah) yang memandang bahwa kebenaran unik yang merupakan agama yang benar telah terpendam dalam ajaran-ajaran para nabi terdahulu. Ajaran tersebut diyakini telah ada semenjak Nabi Adam yang kemudian sampai pada Nabi Idris—dalam tradisi Yunani dikenal dengan nama Hermes sang “father of philosopher”—dan selanjutnya dikembangkan dan dipelihara oleh para filsuf Yunani, Persia kuno dan akhirnya oleh para pemikir muslim. Dari rentetan geneologi kebijaksanaan inilah, dalam sejarah telah memunculkan kaum sufi yang mengembangkan tradisi pemikiran tasawuf sebagai bagian dari disiplin keislaman.

· Tasawuf atau mistisisme Islam adalah aliran pemikiran yang dilengkapi dengan leksikon teknis, wacana dan teori-teori yang dikendalikan dengan ketat. Gaya hidup religiusnya bersifat individual dan sosial sekaligus yang determinan terhadap partisipasi jiwa-raga dalam proses mewujudkan kebenaran spiritual. Kebenaran spiritual inilah yang akhirnya membawa berbagai varian dan berkembang secara luar biasa. Sebuah perkembangan yang kerapkali memancing kecurigaan dari sayap pemikiran lain. Dicurigai, karena kehadirannya identik dengan misteri besar dalam habitat keilmuan keislaman. Dan dipercayai, karena dia memasuki wilayah otoritas keagamaan, apalagi menawarkan kedamaian dan kebenaran esoterik. 

Berbeda dengan teolog dan fukaha (ahli fikih), kaum sufi memiliki sikap yang lebih “cair” terhadap agama lain. Kaum sufi memandang di dalam beragam agama terdapat kesatuan hakikat mereka. Kebekuan bisa terjadi bila agama hanya dipandang secara formal. Tetapi, ketika dipandang secara esensial, maka kebekuan formal itu akan mencair dalam kesatuan hakikatnya. Kenyataan ini selaras dengan hasil penelitian Dr. Abu ‘Ala al-Afifi dalam bukunya Al-Tasawwuf, al-Tsaurah al-Ruhiyah Fi al-Islam (1963), bahwa tasawuf bisa membawa pada sikap toleransi yang sesungguhnya terhadap segala perbedaan keyakinan. Dan terbukti, secara doktrinal dan historis, tasawuf dikenal sepanjang sejarah sebagai disiplin paling toleran, tak hanya inklusif, tetapi juga pluralis dalam memandang perbedaan agama. 

Sikap para sufi yang cenderung eksentrik sesungguhnya menjadi karakter tersendiri di tengah persaingan ketat antara disiplin ilmu kalam, fikih dan filsafat yang telah mapan sebelumnya. Persepsi tentang Tuhan menjadi lahan perselisihan antarpemikiran ini. Antara Tuhan yang hanya sebagai obyek dari setiap ritus-ritus dalam perspektif fikih, atau sebagai zat yang bersifat sangat sempurna sehingga sulit dijangkau dalam perspektif kalam atau sebagai suatu kebajikan murni yang transenden sebagaimana klaim filsafat. Dalam konstelasi inilah tasawuf menyodorkan wacana lain, yaitu peningkatan kualitas dalam komunikasi interpersonal dengan Tuhan dan menfokuskan pada kebenaran intuitif ketimbang penalaran rasional. Adanya konflik antaragama (salah satunya—ed) disebabkan pemeluk agama tidak dapat melihat adanya kesatuan hakiki pada setiap agama. 

Penekanan pada spiritualitas menjadikan kaum sufi senantiasa mendorong pada sikap pelayanan kepada masyarakat, memberikan panutan kemuliaan manusia, kedermawanan, kesopanan spiritual, sikap sayang pada binatang dan menolak pertikaian sektarian, fanatisme, dendam serta teror kepada orang lain atas nama agama. 

Dalam dunia tasawuf, muncul pandangan yang sangat universalis seperti Ibnu Arabi, Ibnu Sabiin atau Ikhwan Al-Safa yang menggagas jalan “kesatuan agama” (wihdat al-adyan). Dari sejarah pula, kita mengenal banyak sufi yang berguru kepada orang-orang Kristiani. Bahkan, Nabi Isa disebut-sebut sebagai guru pertama yang banyak memberikan inspirasi kepada banyak sufi. Konon pula, Sankara, seorang mistikus besar India, dianggap sebagai guru Ibnu Arabi. 
Peneguhan Visi Keberagamaan 

Kaum sufi dalam proses pendakian spiritualnya menggunakan intuisi (zauq). Mereka “mengabaikan” akal dan indera, sebab keduanya dianggap tidak berdaya dalam menggapai kebenaran hakiki, karena dapat menimbulkan kekaburan dalam mengambil suatu argumen. Karena itu, bagi mereka agama tidak hanya mampu “disingkap” secara rasional atau empirik. 

Agama hakikatnya merupakan “penjelajahan batini” yang berpuncak pada “kedekatan spiritual” dengan Tuhan. Sebaliknya, penekanan pada ritual-formal dalam beragama—seperti kata Al-Hallaj—justru menjauhkan diri dari Tuhan. 

Walhasil, kultur keagamaan saat ini perlu dibangun melalui kultur sufisme. Setelah sekian lama, agama diajarkan dengan pendekatan yang skripturalis dengan hanya menitikberatkan pada ritual dan pembangunan teologi superior. Penyegaran pemikiran keagamaan tidak harus terpancang dalam wacana dekonstruksi dengan memakai pendekatan antropologis dan historis. Akan tetapi, dibutuhkan juga pembongkaran segi-segi dalam wilayah penghayatan keagamaan yang berarti melakukan penyegaran atas “sisi-sisi dalam” agama dan manusia sebagai penghayatnya. Demikian juga, dialog antaragama yang terus diusahakan saat ini sudah sepatutnya lebih menekankan aspek “keterbukaan esoteris”, baik secara teoritis maupun praktis, sebagaimana telah ditunjukkan oleh para sufi terdahulu.

Latar Belakang Timbulnya Ilmu Tasauf Dalam Islam
Tentang kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemuka¬kan, yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka meru¬pakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.

Begitulah yang terjadi pada diri orang-orang yang pertama kali memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan mencampur adukkan yang haq dengan yang batil hingga yang batil dianggap haq) terhadap mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis memperdayai orang-orang setelah itu daripada pengikut mereka. Setiapkali lewat satu kurun waktu, maka ketamakan Iblis untuk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya hingga mereka yang datang belakangan telah berada dalam talbis Iblis. 

Talbis Iblis yang pertama kali terhadap mereka adalah mengha¬langi mereka mencari ilmu. Ia menampakkan kepada mereka bahwa maksud ilmu adalah amal. Ketika pelita ilmu yang ada di dekat mereka dipadamkan, mereka pun menjadi linglung dalam kegelapan.
Di antara mereka ada yang diperdaya Iblis, bahwa maksud yang harus digapai adalah meninggalkan dunia secara total. Mereka pun menolak hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, mereka berlebih-lebihan dalam membebani diri, bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.

Sebenarnya tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka meniti jalan yang tidak benar dan diantara mereka ada yang karena minim¬nya ilmu, lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu), sementara dia tidak mengetahuinya.

Penamaan shufi tidak ditemukan secara pasti, dari kata apa asalnya. Ada perbedaan-perbedaan pendapat mengenai asal kata shufi ataupun tasawuf. Ibnu Taimiyah menyebutkan sebagian perbe¬daan-perbedaan yang ada sebagai berikut.
Dikatakan bahwa lafal shufi itu dinisbatkan (disandarkan) kepada ahli shofah (penghuni lorong dekat masjid Nabi). Ini tidak benar, karena kalau demikian maka pasti disebut shofiy.

Ada pula yang berpendapat, shufi itu dinisbatkan kepada shof depan di hadapan Allah. Ini pun salah, karena namanya jadi shofiy juga. 
Konon ada yang menisbatkan shufi kepada Shufah bin Basyar bin Thanjah, satu kabilah dari Bangsa Arab, mereka bertetangga dengan Makkah dari zaman dahulu kala. Dinisbatkanlah orang-orang ahli ibadah (nassak) kepada mereka. Ini, walaupun sesuai untuk penisbatan dari segi lafal yaitu tepat jadi "shufi" namanya, namun penisbatan ini lemah juga. Karena mereka itu tidak terkenal dan tidak populer bagi kebanyakan ahli ibadah. Dan seandainya ahli ibadah itu dinisbatkan kepada mereka maka pastilah penisba¬tan ini sudah ada pada zaman sahabat dan tabi'in serta para pengikut mereka yang pertama. Dan lagi pada umumnya orang-orang yang berbicara mengenai nama shufi itu tidak mengetahui kabilah ini, dan tidak suka kalau dinisbatkan kepada kabilah yang ada di zaman jahiliyah dan tidak ada di zaman Islam.

Dan dikatakan --ini terkenal-- bahwa shufi itu dinisbatkan kepada pakaian as-shuf/ bulu domba/ wool. (Majmu' Al-Fatawa oleh Ibnu Taimiyah 11/6 dan lihat 10/510 -20/150, As-Sufiyah `Aqidah wa Ahdaf oleh Laila binti `Abdillah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, hal 1410H, hal 10-11).
Asal kata shufi dari pakaian shuf (bulu domba) ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, karena kenyataan yang ada pada masa Ibnu Taimiyah adalah mereka memakai pakaian kasar (bulu domba), seba¬gai pengakuan untuk zuhud (menahan diri dengan tidak cinta dunia), dan menampakkan kesederhanaan dan kemelaratan hidup di samping menahan diri dari berhubungan dan minta-minta pada orang, dan mencegah diri dari air dingin dan makan daging. Demikian pula mereka meninggalkan nikah. Sehingga perbuatan mereka tidak sesuai dengan zuhud (tidak serakah) yang disyari'atkan. 
Nabi SAW telah mengingkari orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan mencegah diri dari makan daging atau nikah. seperti Hadits yang telah datang dalam kitab Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Anas bin Malik, ia berkata:
"Ada satu kelompok sahabat yang datang ke rumah Nabi saw untuk menanyakan kepada isteri-isteri beliau tentang ibadah beliau. Setelah mereka diberitahu keadaan ibadah beliau, seolah-olah mereka menganggap ibadah itu masih terlalu sedikit. Kemudian mereka berkata-kata satu sama lain, lalu mereka bertanya, di mana posisi kita dibandingkan dengan Rasulullah saw padahal Allah telah mengampuni dosa beliau, baik yang terdahulu maupun yang akan datang? Lalu salah seorang dari mereka berkata: "Saya akan puasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka." Yang kedua menga¬takan: "Saya akan bangun (shalat) malam dan tidak tidur." Yang ketiga berkata: "Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan kawin selama-lamanya." Lalu Rasulullah saw datang kepada mereka seraya bersabda:

"Kamukah yang telah berkata begini dan begitu tadi? Ketahui¬lah, demi Allah, akulah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan yang paling bertaqwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan kawin dengan perem¬puan. Maka barangsiap yang membenci sunnahku bukanlah ia dari golonganku." (HR Bukhari dan lainnya). 

Ibnu Taimiyah dalam menguatkan shuf (bulu domba) sebagai sebab penamaan shufi adalah karena mereka terkenal dengan pakaian shuf (bulu). Itu hanyalah menyebutkan gejala mereka pada masa itu dan sebelumnya, yaitu pakaian shuf untuk menampakkan zuhud. Tetapi ada pendapat lain tentang penamaan itu menunjukkan sebagian pemikiran mereka, yaitu pemikiran yang kembali kepada pemikiran-pemikiran kuno seperti yang disebutkan oleh Al-Biruni Abu Ar-Rahyan yang menisbatkan tasawuf kepada kata "Sofia" Yunani yaitu hikmah (filsafat), mengingat karena saling dekatnya pendapat-pendapat antara pendapat orang-orang shufi dengan para filosof Yunani kuno. (al- Tasawuf al mansya' wal mashadir, oleh Ihsan Ilahi Dhahir, hal 33-34).

Tasawuf itu adalah kasus yang lebih berbahaya ketimbang seka¬dar pakaian kasar, bahkan merupakan pemikiran-pemikiran buatan para filosof yang masuk ikut campur dalam Islam padahal sebenar-nya jauh dari Islam, tetapi disampuli dengan cover yang menimbul-kan pengelabuan bahwa tasawuf itu termasuk dalam Islam. (As-Shufiyyah `aqidah wa ahdaf, hal 12) Tarekat – Tarekat Sufi
Diantara tarekat –tarekat sufi adalah :
1. Tiijaniyah
2. Qodiriyah
3. Naqsyabandiyah
4. Syadzaliyah
5. Rifa'iyah
6. Dll.
Dan ada diantara tarekat-tarekat ini yang sudah bubar,akan tetapi sekarang kita menemukan terekat –tarekat lain yang tidak terlalu terkenal,dengan pengikut yang sangat sedikit sekalai, dimana penyebarannya juga lambat.

Ucapan –Ucapan Tokoh Kaum Sufi

  • Ibnu Araby, salah satu tokoh utama kaum sufi meyakini bahwa Allah itu adalah makhluq dan makhluq itu adalah Allah. Hal itu diketahui melalui ucapannya :
"Maka ia memujiku dan Aku memujiNya, dan Ia menyembahku dan aku menyembahNya"

  • Al-Junaid, mensyaratkan bagi para pemula agar tidak menyibukkan hatinya dengan tiga hal, yaitu : usaha ( bekerja, mencari hadist dan kawin !.

Pengakuan –Pengakuan Beberapa Tokoh Sufi
  • Ibnu 'Araby berkata tentang bukunya " Alfutuuhatul Al-makkiyah ", bahwa itu adalah tauqiifiy ( sesuatu yang datang dari Allah ).
  • Al-hallaj mengaku bahwa telah turun kepadanya risalah-risalah yang banyak dengan tulisan Allah 'azza wa jalla.


Buku-Buku Tentang Tasauf
1. Alfutuuhaatul makkiyah, yang dikarang oleh Ibnu 'Araby .
2. Quutul Quluub karangan Abu Tholib Al-Makky.
3. Ath-Tawashin karangan Alhallaj.

Istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka meru¬pakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.

Asal kata shufi dari pakaian shuf (bulu domba) ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, karena kenyataan yang ada pada masa Ibnu Taimiyah adalah mereka memakai pakaian kasar (bulu domba), seba¬gai pengakuan untuk zuhud (menahan diri dengan tidak cinta dunia), dan menampakkan kesederhanaan dan kemelaratan hidup di samping menahan diri dari berhubungan dan minta-minta pada orang, dan mencegah diri dari air dingin dan makan daging. Demikian pula mereka meninggalkan nikah. Sehingga perbuatan mereka tidak sesuai dengan zuhud (tidak serakah) yang disyari'atkan.

Pengertian ‘Tasawuf’ Menurut Ibnu Taimiyah
Sebagaimana diketahui, bahwa para peneliti tentang Tasawuf memiliki pandangan yang berbeda tentang asal kata yang membentuk frase Tasawuf itu. Berbagai pertanyaan pun lahir dari masalah ini; apakah “sufi” adalah kata asli bahasa Arab atau kata asing yang ‘diarabkan’? Jika ia adalah kata asing, dari bahasa manakah ia berasal? Jika ia adalah kata asli bahasa Arab, apakah ia kata yang jamid atau musytaq?

Perdebatan seputar asal pembentukan “Tasawuf” atau “sufi” ini juga diulas oleh Ibnu Taimiyah. Dalam ulasannya, ia menguraikan semua pandangan yang ada dalam masalah ini, mendiskusikannya lalu kemudian menyampaikan pandangannya sendiri yang disertai dengan dalil dan argumentasinya. Dari semua pendapat yang ada, umumnya kritik yang dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah berkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam penisbatan sebuah kata untuk kemudian menjadi “sufi”. Meski terkadang kritiknya juga terkait dengan wawasannya tentang sejarah.

Salah satu contohnya adalah ketika ia mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa “sufi” adalah penisbatan kepada Ahl al-Shuffah. Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Penisbatan (sufi) kepada ‘al-Shuffah’adalah sebuah kekeliruan. Sebab jika (‘sufi’ adalah penisbatan kepada ‘al-Shuffah’), maka seharusnya menjadi ‘shuffy’ ÕÝí , dan bukan ‘sufi’ ’. ÕæÝí

Di samping itu, ia juga menafikan –berdasarkan fakta sejarah- pendapat ini dengan menyatakan bahwa Shuffah yang terletak di bagian selatan Mesjid Rasulullah saw kala itu bukanlah tempat yang khusus dihuni oleh kelompok tertentu. Tempat itu sepenuhnya untuk orang-orang yang datang ke Madinah sementara mereka tidak mempunyai keluarga atau rumah di Madinah. Kaum muslimin yang berasal dari luar Madinah jika berkunjung ke kota itu dapat menginap di mana saja, dan Shuffah menjadi alternatif terakhir bila mereka tidak menemukan tempat bernaung. Karena itu –menurut Ibnu Taimiyah- penghuni Shuffah selalu berganti. Terkadang jumlahnya banyak, tapi pada kali yang lain menjadi sedikit. Karakternya pun berbeda-beda; ada yang ahli ibadah dan ilmu, namun ada pula yang tidak demikian. Bahkan, diantara mereka kemudian ada yang murtad dan diperangi oleh Nabi saw. Karena itu, tidak ada alasan untuk menisbatkan “sufi” kepada Ahl al-Shuffah.

Pada akhirnya, Ibnu Taimiyah lebih menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa “sufi” adalah sebuah penisbatan pada pakaian shuf ( ÕæÝ )bulu domba. Di samping karena alasan kaidah kebahasaan, dari segi fakta, para sufi dan zuhhad juga banyak mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba.[16]
Namun, Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting yang patut direnungkan. Ia mengingatkan bahwa mengenakan model pakaian tertentu (seperti yang terbuat dari bulu domba) sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai tanda atau bukti kewalian seseorang. Ia mengatakan,
“Para wali Allah sama sekali tidak memiliki ciri yang menjadi kekhasan mereka secara lahiriah dari hal-hal yang mubah. Mereka tidak menjadi beda dengan mengenakan model pakaian tertentu lalu meninggalkan model yang lain, selama keduanya adalah perkara yang mubah.”

Hal ini mengantarkan pada kesimpulan lain bahwa dalam hal ini, Ibnu Taimiyah lebih mementingkan ‘isi’ dan ‘kandungan’ yang sesungguhnya daripada harus mementingkan penampilan lahiriah. Itulah sebabnya, dalam mengulas tentang Tasawuf, ia tidak terpaku pada istilah ini secara baku. Ia juga menggunakan istilah “al-Fuqara’” (kaum fakir), “al-Zuhhad” (kaum pelaku kezuhudan), “al-Salikin” (para penempuh jalan menuju Allah), “Ashab al-Qalb” (pemerhati dan pemilik hati), “Arbab al-Ahwal” (para penempuh ahwal), “Ashab al-Shufiyah” (pelaku jalan sufi), atau Ashab al-Tashawwuf al-Masyru’ (pelaku Tasawuf yang disyariatkan); semuanya untuk menunjukkan satu makna, yaitu para penempuh jalan ruhani dalam Islam.[18] Sebagaimana ia juga menegaskan bahwa jalan ruhani ini samasekali tidak menjadi monopoli kelompok tertentu. Para ulama, qurra’ dan yang lainnya pun dapat dikategorikan sebagai para penempuh jalan ini, sebab –baginya- Islam adalah sebuah keutuhan antara zhahir dan bathin, jiwa dan raga.

Sejarah Pemunculan Tasawuf

Seperti pembahasan sebelumnya, para peneliti Tasawuf juga memiliki pandangan yang berbeda seputar awal sejarah pemunculan Tasawuf. Sebagian peneliti bahkan mengatakan istilah “sufi” telah ada di masa jahiliyyah. 
Ibnu Taimiyah sendiri menyimpulkan bahwa istilah ini baru muncul pada awal-awal abad 2 H. Akan tetapi penggunaannya baru terkenal setelah abad 3 H. Ia mengatakan,
“Awal mula munculnya Sufiyah adalah dari Bashrah, dan yang pertama kali membangun rumah kecil untuk kaum sufi adalah beberapa orang pengikut Abd al-Wahid bin Zaid. Abd al-Wahid bin Zaid ini adalah salah satu murid dari al-Hasan al-Bashri. Saat itu perhatian pada kezuhudan, ibadah, khauf, dan yang semacamnya di Bashrah sangat berlebihan melebihi kota-kota lain. Itulah sebabnya muncul pameo: ‘fikihnya fikih Kufah, tapi ibadahnya ibadah Bashrah’.”

Pembagian Sufi Menurut Ibnu Taimiyah
Menurut Ibnu Taimiyah, para sufi itu dapat dibagi menjadi 3 golongan:
1. sufi yang hakiki (shufiyyah al-haqa’iq)
2. sufi yang hanya mengharapkan rezki (shufiyyah al-arzaq)
3. sufi yang hanya mementingkan penampilan (shufiyyah al-rasm)

Sufi yang hakiki menurutnya adalah mereka yang berkonsentrasi untuk ibadah menjalani kezuhudan di dunia. Mereka adalah orang-orang yang memandang bahwa seorang sufi adalah “orang yang bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan tafakur, dan yang menjadi sama baginya nilai emas dan batu.”
Kelompok inilah yang diakui dan dijalani oleh Ibnu Taimiyah. Ia mengatakan tentang kelompok ini, “Kelompok ini sebenarnya adalah salah satu bagian dari golongan ‘Shiddiqun’. Ia adalah ‘shiddiq’ yang memberikan perhatian khusus terhadap kezuhudan dan ibadah secara sungguh-sungguh. Maka seorang ‘shiddiq’ juga ada yang menjadi penempuh jalan ini, sebagaimana juga ada ‘shiddiq’ dari kalangan ulama dan umara’. Jenis (manusia) ‘shiddiq’ ini lebih khusus dari (manusia) ‘shiddiq’ secara mutlak, namun tetap berada di bawah para (manusia) ‘shiddiq’ yang sempurna ke’shiddiq’annya, dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.

Maka jika para ahli zuhud dan ibadah dari Bashrah itu disebut sebagai para ‘shiddiqun’, maka para imam dan fuqaha’ dari Kufah pun disebut sebagai para ‘shiddiqun’. Setiap mereka (menjadi ‘shiddiqun’) sesuai dengan jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya yang mereka tempuh dengan kemampuan mereka. Sehingga (dapat disimpulkan) bahwa mereka –para sufi- adalah manusia ‘shiddiq’ paling sempurna di zamannya, meski para ‘shiddiqun’ generasi awal lebih sempurna dari mereka.

· Menurut Ibnu Taimiyah, seorang sufi yang hakiki haruslah memenuhi 3 syarat berikut:
  • Ia harus mampu melakukan “keseimbangan syar’i”. Yaitu dengan menunaikan yang fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Dengan kata lain, seorang sufi yang hakiki harus komitmen dengan jalan taqwa.
  • Ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini. Yaitu mengamalkan adab-adab syar’i dan meninggalkan adab-adab yang bid’ah. Atau dengan kata lain, mengikuti adab-adab al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.
  • Bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan dan menyebabkannya hidup berlebihan. Adapun shufiyyah al-arzaq (yang hanya mengharapkan rezki) adalah mereka yang bergantung pada harta-harta wakaf yang diberikan kepada mereka. 
Sedangkan shufiyyah al-rasm adalah sekumpulan orang yang merasa cukup dengan menisbatkan diri kepada sufi. Bagi mereka yang penting adalah penampilan dan perilaku lahiriah saja, tidak hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama dengan orang yang merasa cukup berpenampilan seperti ulama –hingga menyebabkan orang bodoh menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan.

Dengan pembagian ini, kita dapat mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah telah mencermati perkembangan Tasawuf dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, ia seperti menegaskan adanya semacam pergeseran dalam memahami Tasawuf yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, -sebagaimana telah disinggung sebelumnya- bagi Ibnu Taimiyah, wali Allah yang hakiki itu tidak memiliki model penampilan khusus yang berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Mengapa? Karena –menurutnya- para wali itu sebenarnya tersebar dan ada dalam setiap kelompok dan lapisan masyarakat yang berpegang teguh pada Syariat Allah yang benar dan meninggalkan bid’ah. Mereka ada di tengah para ulama, qurra’, prajurit yang berjihad, atau profesi-profesi lainnya. Para wali itu bergerak menunaikan kewajiban duniawi mereka dengan tidak melepaskan penghambaan mereka kepada Allah Ta’ala. 

Di sisi yang lain, Ibnu Taimiyah juga mengkritik para sufi yang hanya memberikan perhatian terhadap ranah ruhani saja, tanpa memperhatikan ranah lahiri dan sosial. Baginya, ketimpangan yang terjadi pada salah satu dari sisi ruhani dan lahiri akan mengakibatkan munculnya sebuah bid’ah baru. Sebab Islam sesungguhnya menyerukan kesalehan masyarakat manusia yang utuh, zhahir dan bathin. Seorang sufi yang sempurna menurutnya harus mampu menyelaraskan amalan hati dengan amalan duniawi. Ia menyebutnya dengan, “Dunia berkhidmat untuk dien (agama).”

AHWAL DAN MAQAMAT MENURUT IBNU TAIMIYAH
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, “dasar utama agama ini sebenarnya adalah ilmu dan amal yang bersifat bathiniyah, dan amalan lahiriah tidak akan bermanfaat tanpa (hal-hal yang bersifat bathiniyah) itu.” Oleh sebab itu, berangkat dari konsep universalitas Islam untuk semesta, Ibnu Taimiyah mengkritik pandangan sebagian sufi yang menganggap bahwa ahwal dan maqamat tertentu hanyalah ‘milik’ kalangan khas, dan tidak bisa menjadi ‘milik’ kalangan –yang mereka sebut- awam. Baginya, semua ahwal dan maqamat itu, karena ia merupakan ilmu dan amal batiniyah yang menjadi dasar utama dalam menjalankan agama, maka ia seharusnya menjadi kewajiban setiap muslim, tanpa sekat-sekat awam dan khas. 

Terkait dengan itu, ia –misalnya- menyatakan,
“Amalan-amalan batin berupa cinta (mahabbah) pada Allah, tawakkal pada-Nya, ikhlas dam ridha juga pada-Nya; semuanya adalah perkara yang diperintahkan kepada kaum awam dan khas. Pengabaian terhadapnya oleh satu dari dua pihak itu (awam dan khas –pen) bukanlah hal terpuji, setinggi apapun maqamnya.”

Maqamat Menurut Ibnu Taimiyah
  • Maqam taubat
Inilah maqam pertama para penempuh jalan menuju Allah menurut jumhur kaum sufi.[34] Itulah sebabnya, dalam al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah (hal. 27), Ibnu Taimiyah mengawalinya dengan ulasan tentang taubat. Ia menegaskan bahwa –sebagaimana dalam al-Qur’an[35]- Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan dirinya, dan bahwa taubat merupakan salah satu karakter penting seorang wali Allah. 

Taubat –menurut Ibnu Taimiyah- adalah sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan hamba setiap waktu,
“Dan bahwa seorang hamba itu senantiasa berbolak-balik dalam nikmat-nikmat Allah jua, maka ia selalu membutuhkan taubat dan istighfar. Itulah sebabnya, penghulu anak cucu Adam dan imam kaum bertakwa, (Muhammad) saw selalu beristighfar di setiap waktu dan kondisi.”

Di dalam al-Qur’an, setiap kali Allah menyebutkan dosa dan maksiat, maka ia akan selalu disertai dengan penyebutan taubat dan istighfar. Karena itu, pembukaan pintu taubat yang luas itu juga menunjukkan luasnya pintu rahmat Allah bagi alam semesta.

Ibnu Taimiyah kemudian membagi taubat berdasarkan hukum dan tingkatan pelakunya. Adapun berdasarkan hukum, taubat –menurutnya- dibagi menjadi dua:
Pertama, taubat wajib. Yaitu taubat dari meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan Allah. Taubat jenis ini adalah kewajiban semua mukallaf, sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

Allah berfirman,
“Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai kaum beriman, agar kalian mendapatkan keberuntungan.” (QS. Al-Nur: 31)

Rasulullah saw bersabda,
“Wahai sekalian manusia! Bertaubatlah kalain kepada Allah, sebab aku bertaubat dalam sehari sebanyak 100 kali.”

Kedua, taubat mustahabbah. Yaitu taubat dari meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh.
Adapun taubat ditinjau dari sisi tingkatan pelakunya, Ibnu Taimiyah membaginya menjadi 3 tingkatan:

Pertama, al-abrar al- muqtashidun. Yaitu mereka yang mencukupkan diri dengan melakukan jenis taubat yang pertama; taubat yang hukumnya wajib. 
Kedua, al-sabiqun al-muqarrabun. Yaitu mereka yang selalu berusaha melakukan kedua jenis taubat di atas; taubat yang wajib dan mustahabbah.
Ketiga, al-zhalimun. Yaitu orang-orang yang tidak melakukan satu pun dari kedua jenis taubat tersebut. 

Akan tetapi, Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa baik-tidaknya kehidupan hamba kelak di sisi Tuhannya ditentukan oleh bagaimana ia mengakhiri hidupnya (khatimah). Apa yang ia lakukan di awal-awal hidupnya tidaklah dapat menjadi ukuran ‘kesuksesan’nya di akhirat jika kemudian ia menutup hidupnya dengan lembaran hitam. Sebab sebagaimana amal sangat bergantung pada niat memulainya, ia juga bergantung pada bagaimana seorang hamba mengakhirinya. 

Maqam Tawakkal
Tawakkal adalah salah satu amal batin yang menghubungkan hamba dengan cinta Allah serta mengantarkannya sampai kepada puncak keikhlasan. Dan maqam ini merupakan maqam yang menjadi kewajiban kalangan awam dan khas secara umum. Tidak sebagaimana yang dipandang oleh sebagian sufi bahwa maqam tawakkal ini terlalu tinggi sehingga terlalu sulit untuk memahami dan mengamalkannya.

Dalam menegaskan konsepnya bahwa maqamat itu merupakan kewajiban semua kalangan tanpa ada perbedaan antara awam dan khas, Ibnu Taimiyah menyatakan ,“Dan barangsiapa yang mengatakan bahwa ‘maqamat’ ini hanya untuk kalangan awam dan bukan untuk kalangan khas, maka ia telah keliru jika yang ia maksud bahwa kalangan khas telah keluar( dari kewajiban itu). Sebab tidak ada seorang mukmin pun yang keluar (dari kewajiban menjalani ‘maqama’ itu –pen). Yang keluar (dari kewajiban ‘maqama’ itu) hanyalah orang kafir atau munafik.”

Dalam menjelaskan maqam tawakkal ini, -setelah menyimpulkan konsep tawakkal yang umum dipahami oleh para sufi-, Ibnu Taimiyah membagi tawakkal ini menjadi dua: (1) tawakkal dalam urusan dien, dan (2) tawakkal dalam urusan dunia. Menurutnya, umumnya para sufi hanya mengaitkan maqam tawakkal ini dengan urusan dunia. Atau dengan kata lain, tawakkal menurut mereka adalah menundukkan diri untuk tidak bernafsu dalam mencari dunia dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Sementara Ibnu Taimiyah sendiri lebih menekankan jenis tawakkal yang pertama, dan bahkan menganggapnya lebih besar dari yang kedua. Karena itu, manusia yang mutawakkil (bertawakkal) –menurutnya- adalah:
“(Yang) bertawakkal pada Allah untuk kebaikan dan keshalehan hati dan agamanya, serta penjagaan lisannya. Inilah yang terpenting baginya. Oleh sebab itu ia selalu bermunajat kepada Rabb-nya di setiap shalat: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong”(QS. Al-Fatihah:5), seperti dalam firman Allah Ta’ala: “Maka sembahlah Ia dan bertawakkallah pada-Nya.”(QS.Hud:123)…”

Hal lain yang juga ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam membahas maqam ini adalah bahwa ketawakkalan seorang hamba pada Allah samasekali tidak menjadi penghalang (baca: tidak menjadi alasan) untuk tidak bekerja keras dan menempuh sebab-sebab kauniyah dalam mencapai sesuatu. Dalam hal ini, ia mengkritik sebagian sufi yang menganggap bahwa setelah bertawakkal, sang hamba tidak perlu lagi mengerahkan usahanya untuk meraih apa yang ia inginkan. Kesalahan pandangan ini –menurut Ibnu Taimiyah- disebabkan karena mereka memandang bahwa jika semua perkara telah ditakdirkan, maka dalam proses terjadinya kemudian sangat mustahil adanya campur tangan manusia di sana. Atau dengan kata lain, mereka tidak memahami bahwa ketika Allah menakdirkan sesuatu, maka Allah pun menakdirkannya bersama dengan sebab-sebab pemunculannya. Dan sebab-sebab pemunculan sesuatu yang ditakdirkan itu telah ditetapkan Allah pula; baik melalui jalan sang hamba itu sendiri, atau jalan lainnya. Intinya, segala sesuatu itu ditakdirkan ‘satu paket’ dengan sebab-sebabnya. Dan pada ‘sebab-sebab’ itulah manusia ‘bermain’.

Maqam Zuhud

Rasulullah saw pernah bersabda,
“Bila engkau melihat seseorang yang dikaruniai kezuhudan terhadap dunia dan sedikit berbicara, maka mendekatlah padanya, karena sesungguhnya ia telah dianugrahi hikmah.”

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, zuhud yang masyru’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang akan menyibukkan seseorang dari ketaatan pada Allah Ta’ala, dan bahwa apapun yang dapat menguatkan seseorang di jalan ketaatan pada Allah, maka meninggalkannya bukanlah kezuhudan. Sebaliknya apapun yang tidak berguna untuk negri akhirat, maka meninggalkannya adalah kezuhudan.
Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa kezuhudan tidaklah identik dengan kemalasan, kelemahan, ketidakberdayaan, dan hilangnya peran serta sang hamba dalam kehidupan. Kezuhudan juga tidak identik dengan kemiskinan.

Kezuhudan adalah ketika dunia tidak menguasai hati meski ia ada dalam genggaman. Seorang milyuner pun dapat menjadi manusia zuhud jika ia tidak tertawan oleh hartanya. Sebaliknya, seorang miskin tidak dapat disebut zahid jika hasrat pada dunia terus-menerus membakar jiwanya. 
Itulah beberapa di antara maqamat yang disinggung oleh Ibnu Taimiyah, disamping tentu saja beberapa maqam lain yang juga dibahasnya.

Ahwal Menurut Ibnu Taimiyah

Salah satu ahwal yang dibahas oleh Ibnu Taimiyah adalah al-mahabbah (cinta). Di sini terlihat bahwa mungkin penempatan ini tidak sama dengan pandangan sebagian sufi yang menempatkan al-mahabbah sebagai maqam. Ini tentu dapat dimaklumi, sebab meskipun para sufi dapat dikatakan sepakat atas perbedaan maqam dan hal –bahwa maqam adalah sesuatu yang diusahakan oleh seorang hamba, sedangkan hal adalah anugrah dari Allah dan bersifat sementara atau tidak tetap-, namun dalam menyimpulkan apakah sesuatu itu termasuk maqamat atau ahwal sangat bergantung pada hasil “ijtihad” masing-masing mereka. 

Al-Mahabbah menurut Ibnu Taimiyah adalah sebuah kecenderungan hati tanpa beban (paksaan) pada Allah dan pada apa yang ada di sisi-Nya. Al-Mahabbah inilah yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah serta disepakati oleh para salaf shaleh, imam-imam hadits dan tasawwuf. Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa al-mahabbah adalah landasan dasar setiap amalan keagamaan, inti iman adalah cinta dan benci karena Allah.

Jika penghambaan kepada Allah menyatukan 2 unsur: cinta yang sempurna dan ketundukan yang utuh pada-Nya, maka penghambaan dan penyerahan diri seperti ini akan menganugrahkan kemerdekaan bagi jiwa manusia dalam menghadapi siapa pun selain Allah. Sehingga “semakin bertambah kecintaan pada Allah dalam hati, maka semakin bertambah pula penghambaan pada-Nya. Dan semakin bertambah penghambaan manusia pada-Nya, akan semakin merdekalah ia dari selain-Nya.”

Di titik inilah kebahagiaan manusia mencapai titik tertingginya. Yaitu ketika manusia hanya bersandar sepenuh-penuhnya hanya kepada Allah dan terbebas dari ikatan pada sesama makhluq. Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Maka hati tidak akan baik, beruntung, merasakan kelezatan, bergembira, merasakan kebaikan dan keteguhan, serta meraih ketenangan kecuali dengan menghamba pada Rabbnya, mencintai dan kembali pada-Nya.”

PERKEMBANGA DAN PENGARUH TASAWUF.

Dalam uraian tentang al-mahabbah, Ibnu Taimiyah juga menyinggung tentang kecintaan seorang murid kepada seorang syekh sufi. Di sini, ia mengingatkan bahwa mencintai seorang syekh sufi yang menyelisihi syariat hanya akan membawa kebinasaan. Berbeda dengan mencintai para wali Allah yang bertaqwa, seperti para Khulafa’ al-Rasyidun, “mencintai mereka adalah termasuk ikatan tali iman paling kuat dan salah satu kebaikan terbesar orang-orang bertaqwa.”
Itulah sebabnya, Ibnu Taimiyah kemudian memperluas konsep “cinta karena Allah” hingga kemudian mencakupi seluruh kaum beriman, dan karena itu ia sangat mengkritik fanatisme kepada salah satu syekh sufi tertentu lalu membenci syekh yang lain. Menurutnya, setiap orang beriman berhak mendapatkan cinta kita sesuai dengan kadar ketaatan dan kedekatannya pada Allah. Semakin dekat dan taat ia pada Allah, maka semakin tinggi pula kadar kecintaan yang wajib kita berikan.

Pada awal perkembangannya esensi tasawuf banyak dipraktekkan melalui kezuhudan oleh segolongan umat Islam, yang berorientasi untuk meninggalkan kenikmatan-kenikmatan duniawi serta berusaha memperoleh kemenangan hakiki untuk mencari ridlo-Nya. Sifat zuhud ini sebenarnya telah melekat dalam diri Rasulullah serta para sahabat, yang kemudian berkembang dan sekaligus terbentuk ketetapan-ketetapan khusus termasuk unsur-unsur aqidah, akal, nafs dan akhlak. 

Sejatinya, tasawuf terpancar dalam sebuah pengolahan jiwa yang imajiner, serta batin maupun dzauqnya -cita rasa- dengan memprioritaskan kepentingan nafs. Istilah ini mulai muncul ke permukaan sekitar abad 2 H, karena sebelum masa ini ia lebih dikenal dengan zuhud. Kemudian maknanya mulai menggeneralisasi sehingga terambillah kosa kata dari istilah yang sampai sekarang berlaku.

Diskursus keagamaan menjadi parameter utama bagi para ahli sufi, tujuannya tidak lain untuk membentengi diri mereka dalam menghadapi hujatan dan kehancuran, sehingga tidak tercampur aduk antara nilai-nilai sufuwiyah dengan pemikiran luar. Sementara itu, secara eksternal tasawuf lebih terikat dengan beragam mujahadah (latihan) kerohanian maupun amalan yang bersifat kejiwaan, sehingga akan berdampak positif terhadap batin seseorang. Langkah-langkah sufistik yang dijalani terbagi dalam dua hal utama : al-Maqom dan al-Hal. Dua istilah ini merupakan tingkatan-tingkatan yang digunakan oleh para sufi untuk menempatkan posisinya dengan Tuhan. Maqom merupakan ibadah yang dijalani oleh seorang hamba, sementara Hal adalah sesuatu yang muncul dari diri seorang sufi sebagai emanasi sifat-sifat ketuhanan. Al-ahwal merupakan potensi diri yang secara tidak langsung menentukan maqom yang sudah ia tempuh dalam perjalanan ibadahnya.

Korelasi antara tasawuf dan falsafah sangat erat kaitannya. Hal tersebut bisa kita perhatikan ketika tasawuf mulai condong terhadap ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ma'rifatullah, yang banyak dimisalkan oleh : DzuNuun Al-mishri, 245 H. Seorang revolusioner Mesir yang pertama kali memasukkan unsur-unsur filsafat kedalam tasawuf Islam. Kemudian dilanjutkan oleh Abu Yazid al-Bustami dengan ''al-fana'-nya'', yaitu ke-fanaan makhluk ketika ia tidak lagi merasakan kehadiran Sang Pencipta di dalam dirinya. Seiring zaman, teori ini mulai berkembang menjadi sebuah ajaran tentang bersatunya diri dengan Dzat Yang Maha Hadir.

Pencetus ajaran ini adalah Hasan Ibn Manshur Al-Hallaj, 309 H, yaitu proses bersatunya Dzat Illahi kedalam diri setiap makhluk, serta bersatunya tabi’at insan kedalam tabi’at ilahi, sehingga dari sinilah terbentuk kesatuan hakikat. Sementara itu, Al-Bustami mengungkapkan bahwa dirinya telah berhasil menembus angkasa layaknya rosulullah ketika melakukan isra' wal mi'raj, hanya saja mi'roj yang dilakukannya bersifat ruhiyah. Sufi ini terkenal dengan sebuah teorinya yang disebut dengan ''syathtah'', yaitu istilah yang dipakai terhadap segala sesuatu yang menyimpang dari nilai-nilai keislaman maupun aturan-aturan syariah, sehingga berujung pada pemvonisan ajaran ini sebagai bid'ah.

Para ahli sufi sendiri berbeda pendapat tentang hubungan yang terjalin antara Tuhan dan alam semesta. Golongan satu menyatakan adanya ''wahdaniyatullah'' yaitu memposisikan Allah sebagai al-Khaliq, sedangkan golongan yang lain menyatakan bahwa alam semesta tidak diciptakan dari sebuah ''ketiadaan'', akan tetapi ia sudah ada sejak azali dan menyimpan sifat ketuhanan yang murni, ''alam merupakan wujud tuhan secara dzahir'', begitu kira-kira bentuk pemahaman pada golongan ini. Ajaran ini disebut dengan ''wahdah al-wujud'', karena telah mengimplisitkan bentuk ketuhanan dalam diri manusia dan menganggap Muhammad sebagai manusia yang sempurna, sehingga dari madzhab ini muncullah pemahaman bahwa manusia menyatu dengan Allah. Sementara bagi golongan kedua, teori tentang penyatuan ini diingkari, karena mereka menganggap Allah ''dekat'' dengan alam serta lebih cenderung pada unsur- unsur fananya seluruh makhluk, tak terkecuali alam semesta.

Selain itu, para sufi turut menggubah syair-sayir mereka sebagaimana dilakukan oleh penyair 'udzrii -para penyair yang menyenandungkan syairnya kepada perempuan yang mereka cintai secara murni dan ridha-, sehingga dari keterikatan ini, kedua jenis penyair tersebut saling mempengaruhi, bahkan ahli tasawuflah yang lebih banyak terpengaruh oleh para penyair 'udzrii sehingga muncul nilai-nilai baru dalam dunia kepenyairan saat itu, seperti halnya : syi'r 'udzrii az-zuhd. Para sufi juga banyak memakai lambang maupun istilah yang lumrah digunakan oleh penyair 'udzrii, sampai terkadang kita kesulitan dalam membedakan syair-syair yang ditujukan secara manusiawi atau ilahi -mengandung unsur sufistik-. Dari syair inilah digunakan ahli sufi sebagai washilah untuk mengungkapkan kecintaan terdalam mereka kepada sang ilahi dan keadaan mereka yang dipenuhi dengan rasa cinta dan rindu kepada sang pemilik cinta.

Dari sisi lain, para fuqoha' (pengikut Imam Abi Hanifa) dan para mutakallimin (pengikut Imam Syafi'ie) mengingkari pemahaman yang diyakini oleh para sufi yaitu penggunaan lafadh-lafadz atau istilah 'uzdrii dalam ketasawufan mereka seperti al-gharom, al-'isyq, al-kh-khamr, al-ka's, al-washl dan lain sebagainya. Sebagaimana mereka mengharamkan pula penyerupaan Allah dengan laila, I'ma atau lainnya yang merupakan obyek dalam pengungkapan cinta 'udzrii. Menurut mereka, hal tersebut mengisyaratkan tentang kekufuran dan penyimpangan mereka dari nilai syar'i, karena satu-satunya jalan untuk mengungkapkan kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya hanya bisa dibuktikan dengan ibadah dan ketaatan, bukan dengan rasa rindu atau dahaga kecintaan yang terasa kering tanpa digubah lewat alunan kepenyairan.

Terlebih ketika cinta ilahi yang dimiliki oleh para sufi cenderung pada penggunaan lafadz atau istilah yang tidak bisa dipastikan maknanya kecuali melalui ta'wil, sebagaimana petikan syair pertama kali, yang secara terang-terangan mengungkapkan cinta ilahi dengan dinisbahkan kepada Robiah al-Adawiyah. Sebelum menekuni diri dalam dunia sufi ia merupakan seorang budak yang pandai bernyanyi. Akan tetapi sejak ketasawufan mulai menghinggapi relung hatinya, ia menghabiskan hidupnya dengan terus mencari hakikat akan cinta ilahi, sampai ia menolak pernikahan dengan seseorang. Sejak kecil ia bermukim di tanah Bashrah. Kehidupan yang dijalani dengan segala kemudharatan menyeret jiwanya untuk menekuni dunia lain, dunia yang penuh dengan kepura-puraan, kesenangan semu dan kebahagiaan sesaat. Sehingga pada akhirnya, ia mampu melepaskan diri dari belenggu perbudakan dan mengokohkan kezuhudan dalam batinnya serta mulai ber-uzlah diri untuk terus merenung dan bermujahadah agar terlepas dari dosa. Lalu iapun mulai mendermakan dirinya untuk Allah, sehingga berpindahlah cinta duniawi kepada Ilahi. Ia warnai kecintaan yang dimilikinya dengan celupan terdalam dari hatinya, untuk mencapai dzat yang dicintai. Kemuliaan dan keanggunan yang dimilikinya itu tersebar sampai ke benua Eropa pada abad pertengahan, lewat karya yang ditulis oleh Joinville, yang berjudul: “Hayah al-Quds wa 'Aduwwuha”. Serta Auliya' Ahl as-Sunnah.

Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hallaj 309 H, bahwa Allah dan makhluknya merupakan sebuah gambaran hakiki, mencitrakan akan kekuatan aliran cinta terhadap Tuhannya yang pada akhirnya akan menuju pada penyatuan diri makhluk dengan al-Iradah al- Ilahiyah. Akan tetapi menurut pendapat rajih, yang meninjau ajaran ini dari segi pemikirannya, mendapatkan kemiripan dengan teori ''hululiyah'', sehingga ulama yang menentang sangatlah dominan. Secara bahasa pun, istilah-istilah yang digunakan menyerupai peribadahan agama masehi.

Sebelumnya al-Hallaj sempat berguru dari Junaid. Yang pada masa beliau -sang guru- telah mendapatkan ancaman keras dari penguasa. Layaknya yang terjadi di Bagdad, yang mayoritas dikenal dengan sebutan kaum “zindiqoh” (pura-pura beriman padahal dia kufur), serta ''al-ilhad' (penyimpangan). Ajaran lainnya adalah : kefanaan risalah ilahi dan karomah yang menjadi ciri khas dari golongan zindiqoh itu sendiri. Keseluruhan dari ajaran ini menjadi jalan tengah antara dunia tasawuf, fikih maupun politik, yang secara tidak langsung terbentuk sebagai sebuah tatanan agama yang bernorma.

Sedangkan bentuk fana’ yang diamininya, adalah ketika ia mengatakan ''ana al-haq'', dan hal ini bagi sebagian ulama merupakan bentuk kekufuran yang berkedok keimanan, karena “al-haq” itu adalah Allah semata. Dari teori dan ajarannya ini, ia mengakhiri hidupnya dengan dihukum mati. Sedangkan al-Hallaj, muridnya, bagi sebagian ulama juga telah mengucapkan lafadz yang sama dengan apa yang diungkapkan gurunya. Berbeda dengan seorang orientalis Prancis Louis Massinion yang mengkategorikan al-Hallaj sebagai seorang Syahid ar-Ro'yi, tanpa lebih jauh membahas perbedaan antara Ahlu Zindiq dan Ahlu ar-Ra'yi.

Sementara itu, Imam Ghazali 505 H. dengan karya monumentalnya “ihya' 'Ulum al-Dien”,telah menggalakkan proyek besar sehingga tasawuf dapat diterima dan dikonsumsi oleh semua pihak. Sebagaimana ia berpandangan bahwa ma'rifah hakiki itu terdapat pada penguasa, ahli fiqh, dan ulama golongan keras terhadap hukum syari’at lewat perantara iman, hati, bukan akal. Lebih jauh, beliau berkeyakinan bahwa penggunaan akal dalam mencari hakekat Ilahi hanya akan menumbuhkan keraguan dan kemerosotan iman, sehingga dari stigma tersebut mengakibatkan nalar kritis umat Islam mengalami degradasi bahkan stagnan.

Proses menyempitnya pola fikir umat pada waktu itu berujung kepada maraknya praduga yang simpang siur antara para filsuf maupun ahlu sufi yang cenderung berfikir rasional. Sehingga perdebatan panjang tak lagi bisa terelakkan. 

Termasuk ahli sufi termasyhur adalah Muhyi ad-Dien Ibn 'Arabi, salah satu dari penggalang ajaran wahdah al-wujud. Ia berpandangan bahwa alam telah terbentuk sejak zaman azali, meskipun belum terbentuk secara sempurna, layaknya akal kita yang lahir dari hati manusia sebelum penciptaan jism secara utuh. Beliau juga beranggapan bahwa secara alami, segala sesuatu yang tampak nyata merupakan dzat ilahi, sementara manusia itu sendiri merupakan dunia kecil yang terdapat dalam dirinya seluruh sifat-sifat ketuhanan. Sehingga keberadaan para makhluk bagi beliau merupakan bentuk konkrit adanya al-Khalik, tidak ada perbedaan antara keduanya secara hakikat. Dari sini nampak secara jelas adanya pengaruh nilai-nilai Neo Platonisme dan Al-Masih dalam ranah sufistik Ibn ‘Arabi. Teori ini mulai dilirik oleh dunia timur lewat perantara kaum Kristiani. Salah satu karyanya dapat dinikmati dalam bentuk syair, yang sekaligus menjadi boomerang karena dimurkai oleh sebagian fuqoha' golongan keras, seperti halnya yang dialami al-Hallaj dalam proses mempertahankan ajarannya.

Meskipun akibat yang diperoleh keduanya cenderung sama, akan tetapi Ibn Arabi tidak bermadzhab layaknya al- Hallaj dengan teori ''al-hululnya'', karena bagi Hallaj sendiri teori hulul yang beliau yakini tidaklah mirip dengan bersatunya antar jism dengan jism, aggota badan dengan anggota yang lain, ‘ilmu dengan ma'lum atau fi'il dengan maf'ul, akan tetapi lebih pada daya imajinasi seseorang yang lebih besar dan berpotensi dari pada hakikat. Maka seorang sufi akan melihat kekasihnya dari dekat secara jelas, sebagaimana kekasih tersebut melihatnya. deskripsi semacam ini merupakan bentuk kebenaran yang jelas, karena seorang sufi akan merasakan indahnya ni’mat yang tak terelakkan ketika ia sampai pada seorang kekasih yang begitu dicintainya dengan mujahadah-mujahadah yang lembut dan bermakna daripada sekedar pencapaian secara jasmani. 

Sebenarnya teori-teori sufistik dalam Islam telah menggabungkan beberapa teori diantaranya, pandangan Neo Platonisme, ajaran Tathhiir (pensucian) dalam Kristus, Adzhab al-Quds (pensucian diri) atau yang dikenal dengan ''ghusteen al-jazaair”. Adapun ajaran ''Tathhir'' menurut Ibn 'Arabi terdiri dari tiga tahap :yang pertama adalah ''tazkiyatu an-nafs'' yang bisa tercapai dengan taubat dan menahan hawa nafsu, sedangkan tahapan kedua adalah ''Tashfiyah al-Qolbi'' yang dapat terealisasi dengan penyerahan (kekosongan diri) dan dzikir, adapun tahapan terakhir dari ajaran ini yaitu ''Tajliyah ar-Ruuh'' dan hanya akan tercapai dengan iman sufi, dimana dari keimanan ini mulai terbukalah pintu ruhani untuk menerima kemuliaan ilham-ilham sejati.

Bagi Ibn 'Arabi, terma pluralitas agama yang digagasnya tidaklah berbeda jauh dengan al-Hallaj. Terlihat jelas dalam pandangannya tentang ibadah, yang merupakan proses dimana seorang hamba dapat melihat imajinasi-imajinasi tentang hakikat tuhannya, hanya saja Ibn 'Arabi lebih banyak mengunakan takwil daripada al-Hallaj; yaitu tentang seorang sufi sejati yang menemukan Allah dalam setiap agama-sebagaimana hal ini diperkuat dengan beberapa untaian sya'irnya-, akan tetapi Ibn 'Arabi tidak lantas menisbatkan hal tersebut pada semua agama di dunia, karena agama yang dianggap sebagai wasilah untuk cinta kepada dzat Ilahi adalah agama Ahlu al-Kitab; Yahudi, Masehi dan Islam. Hal ini karena ketiga agama tersebut dalam pandangan Ibn 'Arabi merupakan agama yang satu, kemudian berkembang sebagaimana dikisahkan sejarah sampai akhirnya sempurna menjadi Islam. Sehingga, pengikut Masehi dan Yahudi yang percaya akan kebenaran Islam tetap dianggap sebagai agama yang “hak” bagi penganutnya.

Ide brilian Ibnu ‘Arabi banyak terekam di beberapa karya monumentalnya, antara lain : “al- Tarjamaan al-Asywaq”, “Diwaan al-Abkaar”, “Futuhaatul Makiyyah”, '”Qushush”. Beliau merupakan pencetus syair sufistik pertama di Andalus, dan dari gubahan sya'ir inilah makna-makna religius maupun lambang sufistik terlihat kental dalamnya. Terlebih ketika karya ini menjadi pusat perhatian para filosof untuk objek pentakwilan makna, yang mau tidak mau memvonis Ahlu Dzahir sebagai penyimpang, antara lain : Ibn Taimiyah, Ibn Hajar al- Atsqolani, Ibrahim al-Buqa'i, yang dengan lantang membantah ajaran-ajaran Ibn 'Arabi didalam dua magnum opusnya: “Tanbih al-Ghabi 'Ala Takfiir al-'Arabi” dan “Tahdzir al-'Ibaat min Ahl al-'Inaad wa Bid'ah al-Ilhaad”.

Adapun Ibn Sab'iin, 669 H. sufi terkenal di Andalus yang juga menimbulkan sederet perbedaan mengenai identitas ke-sufian-nya, ada yang menegaskan dia termasuk ahli sufi, adapula yang justru mengkafirkannya. Bagi Ibn Sab'iin, teori dan metode Ibn 'Arabi sama dengan apa yang diyakininya, hanya saja beliau memiliki kriteria penamaan (istilah) tertentu dalam karyanya. kemudian hal ini dijadikan rumusan tetap dalam ajaran tasawuf yang beliau geluti. Pada masa hidupnya, karya-karya beliau telah meluas hingga daratan Eropa sebagaimana yang diungkapkan didalam buku tersebut : bahwa tidak ada satupun dari seorang muslim ketika itu yang mengetahui tentang Allah selain beliau. Naasnya hal ini juga mendapat pertentangan dari kerajaan Sicilia.

Berkat peran dari madrasah terjemah dan pertemuan antara ulama Nashrani-Muslim di Andalus, tepatnya di kawasan Maghrib, bermulalah proses keterpengaruhan nilai-nilai tasawuf Islam kedalam tubuh Kristen di Barat, tepatnya pada abad pertengahan. Dari keberlangsungan inilah banyak bermunculan ulama Kristen yang mulai membidangi nilai sufistik di beberapa Negara, misalnya Spanyol, Prancis, dan Italia. Diantara mereka yaitu : Raymond Marten, Raymond Lull, Alfonso. Kemasyhuran mereka di Eropa memberikan angin segar terhadap bertahannya teori ini. 

Langkah awal yang digunakan Raymond adalah, menggubah sya'ir mereka sebagaimana dilakukan oleh kelompok Tar dan Badur, yang merupakan pencitraan dari ghadzal 'udzrii. Karangannya dalam bentuk buku maupun artikel telah mempengaruhi umat Nasrani pada kezuhudan disertai dengan hujjah maupun dalil yang menguatkan. Ia juga menggunakan metode yang mirip dengan tasawuf Islam, diantara ajarannya : merindukan Tuhan Allah dan al-Masih.

Hidupnya dipebuhi denganpengembaraan layaknya sufi Islam lainnya. Lebih dari itu Raymond mempelajari bahasa Arab selama 9 tahun kepada budak-budak muslim. Dari sinilah nampak kehebatannya dalam mengarang kitab yang berjudul “al-Ta'liif wa al-Tauhiid”, “ al-Ta'ammul ma'a Allah”, “al-Kafir wa 'Arifuuna al-Tsutsalaasah''. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, khususnya latin. Dalam beberapa karyanya, Raymond menggunakan gramatika asing serta mendatangkan kepenulisan model baru yang belum pernah disentuh oleh filosof Eropa pada masa sebelumnya.

Sebenarnya, Raymond merupakan minoritas umat Kristiani yang yakin akan kebenaran Tuhan, akan tetapi ia ingin keyakinan itu hilang dari dirinya dan berupaya untuk menciptakan keharmonisan antar agama dengan menyeru pada kebebasan berpindah agama. Karya monumentalnya yang berjudul “al-Kafir wa al-'Arifun al-Tsalatsah” kemudian menjadi dalil yang sangat kuat atas pandangannya terhadap ajaran yang ia anut. Dalam karya ini dia mengambil contoh seorang kafir dan 3 orang agamawan dengan kemampuan intelektualitas tinggi (Yahudi, Islam, Nasrani), dimana sang kafir tadi mendengarkan penjelasan 3 orang ulama tersebut disertai argumentasi mereka dalam konteks keimanan yang mereka yakini. Dan sang kafir tadi menyimpulkan dari sinilah terdapat hakikat yang saling bergantung, saling terikat dan melengkapi antara satu dengan yang lain, serta keseluruhan darinya menuju pada satu kesatuan yaitu ''Tauhid Allah'', sebagaimana telah Ibn ‘Arabi jelaskan dalam beberapa karyanya. Di akhir karyanya, Raymond menyebutkan bahwa salah satu dari ketiga ulama tersebut- tanpa menyebutkan aqidahnya- mengatakan : wajib bagi kita menggalakkan sifat toleran dan setiap dari kita wajib mengaplikasikannya sekaligus membincang permasalahan ini jauh lebih luas lagi, lantas apakah kalian merasa aneh ketika kita saling bertemu sekali dalam satu hari untuk tujuan ini sekaligus menyepakati manhaj 'aqli sampai kita mendapatkan nilai-nilai keimanan yang menyatu dan utuh ,karena tidah patut bagi kita selain Tuhan yang satu, tidak patut pula mementingkan perbedaan kita dalam keimanan atau saling memerangi saudara kita, karena perang akan menjauhkan manusia dari kata sepakat untuk mencapai tujuan ibadah yang satu. 

Dari pembahasan seorang kafir dan tiga ulama' tersebut mencerminkan sosok Raymond Lull yang benar-benar melakukan penelitian cukup matang terhadap dasar keIslaman dan 'urf umatnya. Sebagaimana ia juga menghabiskan waktu hidupnya dengan banyak mempelajari karya-karya ulama besar seperti Ibn Sina, al-Farabi, al-Ghazali dalam “ Tahafut al-Falasifah “, Robi'ah Adawiyah, Ibn Sab'ien, serta mempelajari puluhan artikel yang berjudul '” Maqasidul Falsafah “. Kemudian jika ditelisik ulang, banyak dari karyanya yang terpengaruh madzhab al-Ghazali tentang potensi untuk mencapai cinta Ilahi melalui peran akal. Dia menganggap bahwa akal sama sekali tidak memiliki peran yang signifikan didalamnya,sebagaimana halnya kritikan yang sempat ia lontarkan kepada para filosof tentang ''ke-azalian'' semesta.

Dalam karya lainnya yang berjudul “al-Habib wa al-Mahbub”, Raymond menjelaskan tentang tasawuf Islam beserta para sufinya. Tercantum didalamnya banyak sekali dipakai istilah-istilah yang juga termaktub dalam karya Ibn 'Arabi., hanya saja keduanya berbeda dalam beberapa pokok masalah seperti teori “ Wahdatul Wujud” dan ke-azali-an alam semesta. Kekurangan yang terdapat pada karya Raymond, dengan tidak adanya penjelasan detail tentang sikapnya terhadap teori Wahdatul Wujud, sehingga ada beberapa bahasan yang terkesan agak rancu. Hal ini dikarenakan pengaruhnya yang kuat terhadap ajaran al-Ghazali, serta ketakjubannya terhadap pemikiran Ibn 'Arabi.

Begitupun halnya yang dilakukan oleh filosof Barat lainnya, seperti Danaty Alighiri, yang juga cenderung mengikuti pemikiran Ibn 'Arabi, terutama karya beliau tentang “ al-Mi’raj “ yang sempat diterjemahkan kedalam berbagai bahasa atas perintah raja Alfonso, 1260 M. Dari pangkal inilah sehingga menggerakkan hati Abdurrahman Badawi untuk mengkomparasikan dua karya dari filosof ternama ini, yang ternyata banyak ditemukan beberapa hal yang dinukil dari karya Ibn 'Arabi.

PUSTAKA


Abdullah. Syafe’i. Riwayat hidup dan Perjuangan Ulama syekh H. A. Rahman shiddik-Mufti Indragiri. Jakarta : CV. Serjaya. 1982.

Ali. Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada. 2002.

Azra. Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan  Nusantaran Abad XVII dan XVIII. Bandung : Mizan.

Bruinessen. Martin Van. Kitab Kuning : Pesantren dan Tarekat. Tradisi-tradisi Islam  di Indonesia. Bandung. Mizan. 1999

Nizar. Samsul. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam : Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia. Jakarta : Quantum Teaching. 2005

Siddik. Syaikh Abdurrahman. Syaa’ir Ibarah dan Khabar Qiyamat. Singapura : Matba’ah ahmadiyah
-----------------------Fath Al-Alim Fi Tartib Al-Ta’lim. Singapura : Matba’ah ahmadiyah 1929.
----------------------Risalah fi aqai’id al-iman. Singapura : Matba’ah Ahmadiyah 1936
----------------------Risalah Amal Ma’rifat. Singapura : Matba’ah Ahmadiyah 1929
---------------------Asrar al-salah min ‘iddat al-kutub al-mu’tamadah. Singapura : Matba’ah Ahmadiya 1931
--------------------Tazkiyah li Nafsi. Singapura : Matba’ah Ahmadiyah. 1906

Taufik, et. Al. Peranan Syaikh Abdurrahman Siddik dalam Penegmbangan Islam di Pulau Bangka. Sungailait : P3M STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik.

Zulkifli, Kontinuitas Islam Tradisional di Bangka. Sungailiat, Siddiq Press. 2007

Chirzin. M. Habib. Agama dan Ilmu dalam Pesantren” dalm Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta : LP3S 1983

Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi : Pengembangan konsep insane Kamil Ibn ‘Arabi  oelh al-Jili, Jakarta : Paramadina, cet. I, 1997

Abudinata. Ahlak tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000.

Ach. Abubakar. Pengantar sejarah sufi dan Tasawuf. Solo. Ramadhani, cet 9. 1996
Al-taftazani, abu al-Wafa. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung : Pusaka salman, ct. I. 1980). Judul Asli, Madkhal ila al-Tasawwuf al-islam, cet. IV kairo : Dar al-al-Tsaqafah li al-Nasyr wa al-Tauzi, 1983).Penerjemah : Ahmad Rofi Utsmani.

Bagir, Haidar. Buku Saku Tasawuf. Bandung : ARASY. 2005.

Burhani, najib Ahmad (editor). Manusia Modern mendamba Allah : Renungan Tasawuf Positif, Jakarta : Penerbit IIMan & Penerbit Hikmah, 2002

Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya Hamka, Jakarta : Pusaka Panjimas, 1984

Hidayat, Komarudin. Tragedi Raja Midas : Moralitas Agama dan Krisis Modernisme. Jakarta : paramadina, 1998

Hirtenstein, Stephen. Dari keragaman ke kesatuan Wujud ; Ajaran & kehidupan Spritual syekh al-Akbar Ibn ‘arabi. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001

Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan karya Ilmiah (makalah, tesis dan disertasi) Jakarta: CeQDA. 2007

Nasution , Harun, Teologi Islam : Aliran-aliran, Sjarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press. 1986.

1 komentar:

Boegineze said...

mohon di masukkan referensinya ...

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html