A. Kepercayaan Towani Tolotang
Towani Tolotang merupakan salah satu kelompok social di Kelurahan Amparita. Towani Tolotang juga merupakan sebutan bagi agama yang mereka anut, kepercayaan Towani Tolotang bersumber dari kepercayaan tentang Sawerigading, sebagai mana yang dipahami masyarakat Bugis pada umumnya.
Dalam masyarakat Towani Tolotang dikenal adanya pemimipin agama yang mereka sebut Uwa dan Uwatta yang sekaligus sebagai semacam kepala suku. Kelompok Uwa danUwatta menempati posisi tertinggi dalam system pelapisan social dikalangan masyarakat Towani Tolotang. Sebagai pemimpin agama para Uwa dan Uwatta dijadikan sebagai panutan dalam masyarakat, juga sebagai perantara manusia dengan Dewata Sewwae.
Kehidupan social Towani Tolotang yang nampak dalam kesehariannya merupakan cerminan dari ajaran agama yang ada. Pola perilaku terjadi tentu tidak terlepas dari konsep-konsep agama yang ada, hal ini dapat disaksikan pada setiap sesi kehidupan, dimana setiap akan memulai suatu pekerjaan diperlukan serangkaian acara serimonial keagamaan.
Towani Tolotang meyakini bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan haruslah dilakukan upacara atau ritual tertentu agar mendapat restu dari Dewata Sewwae, karena tanpa restu dari Nya, sulit untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
B. Aluk Tudolo
Di daerah Tana Toraja sekarang ini masih hidup sebuah kepercayaan purba yang bernama Aluk Todolo yang lazim juga di sebut Alukta. Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli masyarakat Toraja walaupun sekarang ini mayoritas penduduknya telah beragama terutama agama Kristen Protestan dan agama Kristen Katholik. Inti ajaran Alukta menyatakan bahwa manusia harus menyembah kapada 3 oknum yaitu:
- Puang Matua sebagai pencipta segala isi bumi
- Deata-deata yang jumlahnya banyak sebagai pemelihara seluruh ciptaan Puang Matua.
- Tomembali Puang/todolo sebagai pengawas yang memperlihatkan gerak-gerik serta berkat kepada manusia keturunannya
Menyimak hal di atas khususnya point ke-3, maka jelaslah bahwa menurut kepercayaan mereka, manusia yang masih hidup tidak akan terlepas dari pengawasan arwah leluhurnya yang disebut Tomembali Puang/Todolo. Dengan kata lain arwah-arwah seseorang yang telah meninggal tidak akan melupakan keturunannya begitu saja akan tetapi tetap memperhatikannya. Hal itu berarti antara orang yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup tetap ada hubungan. Mereka juga meyakini bahwa apabila mereka tidak memberikan berkat, nenek moyang juga bisa murka yang kemudian mendatangkan banjir, penyakit atau gagal panen. Oleh karena itu keselarasan dan keharmonisan harus tetap dijaga. Maka untuk itu sebelum di lepas ke alam arwah, keluarga mengadakan serangkaian upacara sakral dengan harapan dapat diterima disana nantinya (alam puya) dan tidak mendatangkan bencana. Selain itu pada waktu-waktu tertentu dilaksanakan upacara untuk memperingati mereka yang biasa dilaksanakan setelah panen yang berhasil atau suatu kondisi yang baik sebagai ucapan syukur sebagai berkat dari leluhur mereka. Adapun fungsi hewan kurban pada upacara Rambu Solo’ bagi orang Toraja yaitu;
- Akan menentukan kedudukan arwah orang yang telah meninggal, karena diyakini bahwa seseorang yang datang ke dunia dan pada saat meninggalnya apabila dia tidak membawa bekal dari dunia, arwahnya tidak akan diterima Puang Matua (Tuhan)
- Sebagai suatu hal yang menentukan martabat keturunannya dalam mesyarakat yang tetap memiliki status sosial sesuai dengan kastanya semula
- Akan menjadi patokan dalam membagi warisan si mati
Sehubungan dengan penjelasan di atas. Maka terlihat bahwa terdapat hubungan yang erat antara orang yang telah tiada (meninggal) dengan generasi berikutnya yang masih hidup, sehingga nilai-nilai upacara Rambu Solo’ harus senantiasa selalu di jaga.
C. Kepercayaan Dewata Seuwae.
Sebelum masuknya Islam di Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis Makassar sudah mempunyai “kepercayaan asli” (ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan sebutan ‘Dewata SeuwaE’, yang berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama ‘Tuhan’ itu menunjukkan bahwa orang Bugis Makassar memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis. Menurut Mattulada, religi orang Bugis – Makassar masa Pra-Islam seperti tergambar dalam Sure’ La Galigo, sejak awal telah memiliki suatu kepercayaan kepada suatu Dewa (Tuhan) yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama : PatotoE (Dia yang menentukan Nasib), Dewata SeuwaE (Dewa yang tunggal), dan Turie A’rana (kehendak yang tertinggi).
Kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi To-Palanroe atau PatotoE, diyakini pula mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan beragam tugas. Untuk memuja dewa – dewa ini tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantunya. Konsep deisme ini disebut dalam attoriolong, yang secara harfiah berarti mengikuti tata cara leluhur. Lewat atturiolong juga diwariskan petunjuk - petunjuk normatif dalam kehidupan bermasyarakat. Raja atau penguasa seluruh negeri Bugis Makassar mengklaim dirinya mempunyai garis keturunan dengan Dewa - dewa ini melalui Tomanurung (orang yang dianggap turun dari langit / kayangan), yang menjadi penguasa pertama seluruh dinasti kerajaan yang ada.
Oleh: Muhammad Iqbal Al- Makassary |
Kepercayaan orang Bugis kepada “Dewata SeuwaE” dan “PatotoE” serta kepercayaan “Patuntung” orang Makassar sampai saat ini masih ada saja bekas-bekasnya dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep tentang alam semesta yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa) yang didiami manusia, dan dunia bawah (peretiwi). Tiap-tiap dunia mempunyai penghuni masing-masing yang satu sama lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia.
Selain itu, orang Bugis Makassar pra-Islam juga melakukan pemujaan terhadap kalompoang atau arajang. Kata “Arajang” bagi orang Bugis atau “Kalompoang” atau “Gaukang” bagi orang Makassar berarti kebesaran. Yang dimaksudkan ialah benda-benda yang dianggap sakti, keramat dan memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah milik raja yang berkuasa atau yang memerintah dalam negeri. Benda-benda tersebut berwujud tombak, keris, badik, perisai, payung, patung dari emas dan perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan rambut, dan lain sebagainya.
PUSTAKA
Abu Hamid, 1982, Selayang Pandang, Uraian Tentang Islam dan Kebudayaan (dalam buku Bugis Makassar Dalam Peta Islamisasi Indoensia), Ujung Pandang, IAIN.
Abd. Kadir Ahmad, 2004, Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Ternggara, Makassar, Balai Litbang Agama Makassar.
Mattuladda, 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar. Berita Antropologi No. 16 Fakultas Sastra UNHAS.
------------, 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis., Makassar: Disertasi.
0 komentar:
Post a Comment