Wednesday 31 December 2014

DINASTI SAMANIYAH (261 – 389 H / 874 – 999 M)

1. Sejarah Pendirian.


Pendiri dinasti ini adalah Ahmad bin Asad bin Samankhudat. Nama Samaniyah dinisbahkan kepada leluhur pendirinya yaitu Samankhudat, seorang pemimpin suku dan tuan tanah keturunan bangsawan terkenal di Balkh, sebuah daerah di sebelah utara Afghanistan. Dalam sejarah Samaniyah terdapat dua belas khalifah yang memerintah secara berurutan, yaitu;[1]

a. Ahmad I ibn Asad ibn Saman (Gubernur Farghana) 204 H/819 M

b. Nash I ibn Ahmad, (semula Gubernur Samarkand) 250 H/864 M

c. Ismail I ibn Ahmad 279 H/892 M

d. Ahmad II ibn Ismail 295 H/907 M

e. Al-Amir as-Sa’id Nashr II 301 H/914 M

f. Al-Amir al-Hamid Nuh I 331 H/943 M

g. Al-Amir al-Mu’ayyad Abdul Malik I 343 H/954 M

h. Al-amir as-Sadid Manshur I 350 H/961 M

i. Al-Amir ar-Ridha Nuh II 365 H/976 M

j. Mansur II 387 H/997 M

k. Abdul Malik II 389 H/999 M

l. Ismail II Al-Muntashir 390-395H/1000-1005 M

Dinasti ini berbeda dengan dinasti kecil lain yang berada di sebelah barat Baghdad, dinasti ini tetap tunduk kepada kepemimpinan Khalifah Abbasiyyah.[2]

Dalam sejarah Islam tercatat bahwa dinasti ini bermula dari masuknya Samankhudat menjadi penganut Islam pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Bani Umayyah), sejak itu Samankhudat dan keturunannya mengabdikan diri kepada penguasa Islam. Pada masa kekuasaan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M) dari Dinasti Bani Abbasiyyah, empat cucu Samankhudat memegang jabatan penting sebagai gubernur dalam wilayah kekuasaan Abbasiyah yaitu Nuh di Samarkand, Ahmad bin Asad di Farghana (Turkistan) dan Transoksania, Yahyabin Asad di Shash serta Asyrusanah (daerah di utara Samarkand), dan Ilyas di Heart, Afghanistan.[3]

Seorang cucu Samankhudat yang bernama Ahmad bin Asad, dalam perkembangannya mulai merintis berdirinya Dinasti Samaniyah didaerah kekuasaannya, Farghana. Ahmad mempunyai dua putra, Nasr dan Isma’il, yang juga menjadi orang kepercayaan Abbasiyah. Nasr I bin Ahmad dipercaya menjadi gubernur di Transoksania dan Isma’il I bin Ahmad di Bukhara. Selanjutnya Nasr I bin Ahmad mendapat kepercayaan dari khalifah al-Mu’tamid untuk memerintah seluruh wilayah Khurasan dan Transoksania, dan daerah ini menjadi basis perkembangan Dinasti Samaniyyah. Oleh sebab itu Nasr I bin Ahmad dianggap sebagai pendiri hakiki dinasti ini. 

Antara Nasr dan Saudaranya, Isma’il selalu terlibat konflik yang mengakibatkan terjadinya peperangan, dalam peperangan yang terjadi Nasr mengalami kekalahan yang kemudian ia ditawan, sehingga kepemimpinan Dinasti Samaniyyah beralih ke tangan Isma’il I bin Ahmad. Adanya peralihan kepemimpinan ini menyebabkan berpindahnya pusat pemerintahan yang semula di Khurasan di pindahkan ke Bukhara.

Pada sa’at pemerintahan dipimpin Isma’il I bin Ahmad, ia selalu berusaha untuk:
  1. Memperkukuh kekuatan dan mengamankan batas wilayahnya dari ancaman suku liar Turki.
  2. Membenahi administrasi pemerintahan.
  3. Memperluas wilayah kekuasaan ke Tabaristan (Irak utara) dan Rayy (Iran).
Isma’il I bin Ahmad adalah orang yang sangat mencintai dan memuliakan para ilmuwan serta bertindak adil terhadap rakyatnya, setelah ia wafat pemerintahan diteruskan putranya Ahmad bin Isma’il. Setelah Ahmad bin Isma’il, pemerintahan diteruskan putranya Nasr II bin Ahmad yang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga Sijistan, Karman, Jurjan di samping Rayy, Tabaristan, Khurasan, dan Transoksania. Setelah Nasr II bin Ahmad, para khalifah berikutnya tidak mampu lagi melakukan perluasan wilayah, bahkan pada khalifah terakhir Isma’il II al-Muntasir, tidak dapat mempertahankan wilayahnya dari serbuan tentara Dinasti Qarakhan dan dinasti Ghaznawiyah dari Turki. Akhirnya wilayah Samaniyah dipecah menjadi dua, daerah Transoksania direbut oleh Qarakhan dan wilayah Khurasan menjadi pemilik penguasa Ghaznawiyah.

2. Kemajuan-Kemajuan yang di Capai

Dinasti Samaniyah telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kemajuan Islam, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, filasafat, budaya, politik, dan lain-lain. Tokoh atau pelopor yang sangat berpengaruh dibidang filsafat dan ilmu pengetahuan pada dinasti ini adalah Ibn Sina, selain Ibn Sina juga muncul para pujangga dan ilmuwan dibidang kedokteran, astronomi dan filsafat yang sangat terkenal, seperti Al-Firdausi, Ummar Kayam, Al-Bairuni dan Zakariya Al- Razi.[4]

Dinasti ini telah berhasil menciptakan kota Bukhara dan Samarkan sebagai kota budaya dan kota ilmu pengetahuan yang sangat terkenal di seluruh dunia, sehingga kota ini dapat menyaingi kota-kota lain, seperti Baghdad dan Cordova. Dinasti ini juga telah berhasil mengembangkan perekonomian dengan baik, sehingga kehidupan masyarakatnya sangat tentram, hal terjadi karena dinasti ini tidak pernah lepas hubungan dengan pemerintah pusat di Baghdad.

Berakhirnya Dinasti Samaniayah di Transoxiana dan kota Bukhara serta Samarkand sebagai kota utama sangat berpengaruh pada penerapan ajaran-ajaran Islam. Kedua kota ini sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan, hampir-hampir menyamai kebesaran kota Baghdad. Tidak hanya para ilmuwan Arab, ilmuwan Persia pun mendapat perlindunagn dan dukungan dari pemerintah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.[5]

Tidak hanya berhenti sampai di situ, ilmu kedokteran, ilmu falak serta filsafat juga mengalami kemajuan dengan disusun dan direkonstruksi serta diterjemahkan bahasa Persia ke bahasa Asab. Diantara beberapa literatur di bidang kedokteran yang terkenal masa itu adalah buku al-Manshury yang dikarang oleh Abu Bakr al-Razzi. Pada masa ini muncul pula filosof muda belia yakni Ibnu Shina yang berhasil mengobati Amir Nuh bin Mansur pada saat Ibnu Sina berusia delapan belas tahun. Di bidang kesusasteraan muncul al-Firdawsi (934-1020) yang menulis sajak-sajaknya. Tercatat juga dalam sejarah seorang wazir pada pemerintahan al-Manshur I bin Nuh (961-976) yang bernama Bal’ami. Ia menerjemahkan Mukhtasar al-Thabari. Bahkan perpustakaan milik dinasti Samaniyah yang berada di Bukhara memiliki berbagai koleksi buku yang tidak dijumpai di tempat lain.[6] Begitu tingginya peradaban umat manusia di masa Dinasti Samaniyah ini terlebih lagi bila dibandingkan dengan keadaan peradaban yang terjadi pada kedua dinasti sebelumnya. Tidak hanya dalam bidang sains dan filsafat yang berkembang dimasa ini tetapi juga dalam bidang ilmu-ilmu keislaman.

3. Masa-Masa Kemunduran

Pada sa’at dinasti mencapai kejayaannya, banyak imigran Turki yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan, namun bersebab dari tingginya fanatik kesukuan pada dinasti ini, akhirnya mereka para imigran Turki yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan tersebut banyak yang dicopot, langkah-langkah inilah yang menyebabkan kehancuran dinasti ini, karena mereka tidak terima dengan perlakuan tersebut, sehingga mereka mengadakan penyerangan sampai mereka berhasil melumpuhkan dinasti ini.

Sebagai bahan perbandingan penulis menambahkan, jika pada masa Dinasti Umawiyah, wilayah kekuasaannya masih merupakan kesatuan yang utuh, yaitu suatu wilayah yang luas membentang dari Spanyol di Eropa, Afrika Utara, hingga ke Timur India, pada masa Dinasti Abbasiyah mulai tumbuh dinasti saingan yang melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah di Baghdad, yang di mulai dengan terbentuknya Dinasti Umawiyah II di Spanyol, sehinnga kekuasaan kekhalifahan terpecah menjdi dua bagian, yaitu Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad dan Dinasti Umawiyah II yang berpusat di Andalusia, Spanyol.

Kesimpulan

a) 1. Sebelum meninggal, Harun al-Rasyid telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat 

menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah yakni al-Amin dan al-Ma'mun. Al-Amin dihadiahi wilayah bagian barat, sedangkan al-Ma'mun dihadiahi wilayah bagian Timur. Setelah Harun al-Rasyid wafat (809 M.) al-Amin putra mahkota tertua tidak bersedia membagi wilayahnya dengan al-Ma'mun. Oleh karena itu, pertempuran dua bersaudara terjadi yang akhirnya dimenangkan oleh al-Ma'mun. Setelah perang usai, al-Ma'mun menyatukan kembali wilayah Dinasti Bani Abbas. Untuk keperluan itu, ia didukung oleh Tahir seorang panglima militer, dan saudaranya sendiri yaitu al-Mu'tasim. Sebagai imbalan jasa, Tahir diangkat menjadi panglima tertinggi tentara Bani Abbas dan gubernur Mesir (205 H). Wilayah kekuasaannya diperluas sampai ke Khurasan (820-822 M) dengan janji bahwa jabatan itu dapat diwariskan kepada anak-anaknya.

2. Ya’qub bin al-Layth as-Saffar adalah orang yang mendirikan dinasti ini. Mulanya berada di Sijistan, yang pada awalnya ketertarikan gubernur Sijistan atas Ya‟qub yang dijuluki Al-Shaffar (tukang pandai besi) mempunyai perilaku buruk, yaitu merampok. Oleh sebab itu, gubernur Sijistan mempercayakan wilayah itu untuk dipimpin oleh Ya’qub.

3. Dinasti ini didirikan oleh Bani Saman yang telah berhasil menggeser dan menggantikan Dinasti Shaffariyah. Pendirinya adalah keturunan dari seorang tuan tanah bernama Saman Khuda di daerah Balkh (Bactra) yang mulanya menganut Zoroaster lalu memeluk Islam di masa Hisyam bin Abdul Malik menjadi penguasa Dinasti Umayyah (105-124 H). Berdirinya dinasti ini bermula dari pengangkatan empat orang cucu Saman oleh Khalifah Al-Ma’mun menjadi gubernur di daerah Samarkand, Pirghana, Shash, dan Harat. Adapun ke empat orang cucunya tersebut adalah Nuh bin Asad diangkat menjadi gubernur di Samarkand. Lalu Ahmad bin Asad ditunjuk menjadi gubernur di Farghanah, sedangkan Yahya bin Asad dipercaya menjadi gubernur untuk wilayah Syas dan Asyrusnah dan Ilyas bin Asad memangku jabatan gubernur wilayah Heart. Ke empat gubernur bani Saman ini menduduki wilayah bagian Transoxiana di bawah kekuasaan Tahir bin Husein (Dinasti Thahiriyah).

b). Dinasti-dinasti kecil di Timur Baghdad berdiri untuk memisahkan diri dari Baghdad. Dihadapan para khalifah seakan-akan mereka memiliki loyalitas kepada Baghdad, namun sesungguhnya secara teritorial, militer, ekonomi, dan politik mereka memiliki kekuasaan independent. Dinasti-dinasti ini menandai kelemahan kekuasaan yang terjadi di pusat, karena seabad setelah didirikannya dinasti Abbasiyah (750-1258 M / 132-656 H) terlihat nasib khalifah banyak ditentukan oleh panglima-panglima tentara. Erosi kekuasaan riil Abbasiyah semakin meningkat dengan kemunculan penguasa-penguasa politik otonom (para sultan) di hampir seluruh kawasan kekuasaan khalifah.

Dinasti-dinasti kecil seperti Thahiriyah (sekitar 54 tahun), Shaffariyah (kurang lebih 36 tahun) serta Samaniyah (selama 128 tahun) sedikit banyaknya jelas berpengaruh pada Baghdad. Mereka secara sunnatullah silih berganti dalam memperebutkan supremasi kekuatan politik yang kemudian diantara sisi positif dari peran yang dimainkannya ialah mampu melahirkan peradaban yang tidak kalah dari Baghdad. Akan tetapi untuk masa depan Dinasti Abbasiyah sendiri keadaan demikian sangat membahayakan dan merugikan.

B. Saran

Demikianlah uraian singkat makalah tentang Dinasti-Dinasti Kecil Di Timur Baghdad dalam Perkembangan Peradaban Islam. Tulisan ini masih sangat terbatas dan memerlukan tambahan guna memperluas wawasan kita. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan bantuan, kritik, dan saran, serta bimbingan-nya kepada bapak dosen pemandu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.


KEPUSTAKAAN

[1]mushallahalaim2.blogspot.com/dinasti-thahiriyahsammaniyah-da.html. 


[2]Perpustakaan Nasional RI. Ensiklopedi Islam, (Jakarta ; Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), h.159. 


[3]Ahmad Al-Usairy, at-Tarikhul Islami. h. 266. 


[4]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h.151. 


[5]Ahmad Al-Usayri., at-Tarikhul Islami. h. 462-463. 


[6]K. Hitti., History of The Arabs. h. 462-463.

0 komentar:

HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html HTTPS://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html